“Seribu Kunang-kunang di Karet’an”
Seribu
kunang-kunang di Mahattan adalah kumpulan cerita pendek H. Umar Kayam. Dalam
dunia sastra Indonesia, kumcer itu sangat banyak menginspirasi banyak
pengarang. Misalnya, Nirwan Dewanto atau A. S. Laksana memuji karya yang tidak
biasa itu. Mereka tergoda dengan deskripsi Kayam tentang sebuah kota. Tentu
saja Kayam mengambil setting cerita di Amerika, pada saat ia sedang belajar di
negeri paman Sam itu.
Namun, saya
membaca cerpen itu sedikit absurd. Maka, tidaklah
cukup hanya sekali untuk membaca sekaligus memahami isinya. Dalam cerita itu tokoh
utamanya adalah Jane dan Marno, ada pun tokoh tambahannya adalah Tommy yang
notabene mantan suami Jane.
Secara
garis besar karya-karya Umar Kayam banyak menyuguhkan unsur budaya, gaya hidup (life style) dan juga realita kehidupan
sosial yang diadopsi dari pengalaman pribadi beliau kala menetap di luar
negeri.
Menariknya,
dalam cerpen ini pembaca bisa dengan jelas mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan orang-orang barat yang tidak
relevan dengan kehidupan kita sebagai orang timur. Contohnya saja dengan
tinggal bersamanya orang yang bukan mahrom/muhrim nya di apartemen-apartemen mewah. Belum lagi dengan
kebiasaan minum minuman beralkohol. Dan masih banyak lagi.
Saya
melihat narasi itu sebagai peruncingan pula hal-hal yang ingin disampaikan oleh
Kayam kepada para pembaca dalam cerpen
ini. Dengan kata lain cerpen ini mengajarkan kita untuk tidak terpengaruh
dengan kebiasaan buruk yang dilakukan oleh orang-orang barat dan tetap menjunjung tinggi nilai nilai
ketimuran kita.
Yang tentu menjadi pertanyaan besar adalah judul di atas,
yang mengganti kata “Manhattan” menjadi “Karet’an”. Di cerpen “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” kita
bebas menginterpretasikan kata “Kunang-kunang”
tersebut. Bisa jadi itu banyaknya cahaya dari gemerlapnya lampu perkotaan di
Manhattan pada malam hari. Atau juga kunang-kunang yang nyata.
Lalu
apa “Karetan” itu?. “Karetan” adalah sebutan untuk areal perkebunan karet,
khususnya yang berada di daerah Sumatera Selatan. Lantas apa hubungan antara “kunang-kunang”
dengan “karetan”? Kawan, bila kau berkunjung ke kampungku di OKU, kalian akan
takjub dengan cahaya berseliweran di areal perkebunan karet warga pada sekitar
pukul 04.00 pagi. Ternyata cahaya-cahaya tersebut bukanlah berasal dari
kunang-kunang, namun berasal dari senter (headlamp)
yang dipasang di kepala para penggerus
batang karet (tukang sadap). Fungsinya tentu untuk penerangan saja.
Kenapa harus pagi-pagi buta?
Mereka beranggapan itu waktu yang paling tepat. dikarenakan batang karet bisa
mengeluarkan getah dengan lebih banyak dibanding waktu yang lebih udzur. Jadi,
bila kita melihatnya dari jarak jauh terlebih dari ketinggian, kita bisa
melihat harmonisasi cahaya-cahaya lampu menari berputar ke sana kemari, menerobos
batang-batang karet, membentur dahan lalu cahayanya nampak berkelap- kelip terhalang
rimbunnya dedaunan pohon-pohon karet. Pertunjukan seperti ini lebih mirip
seperti sirkusnya para kunang-kunang (fly
fire) kala membuka malam.
Bila kita melihat fenomena ini dari sudut pandang estetika,
tentu indah luar biasa, bisa lah diangkat sebagai keunikan lokal. Tentu dengan
kemafhuman kita akan 80% warga di OKU yang bekerja sebagai petani karet. Namun,
tak bisa dipungkiri harga karetlah yang memiliki peranan penting dalam
perekonomian di kawasan OKU. Bila harga karet tinggi perekonomian pun otomatis
baik, para pedagang di pasar-pasar tradisional bisa bernapas lega karena barang
dagangan mereka laku total. Begitupun
anak-anak sekolah yang uang jajannya cukup hingga para penjual makanan di
kantin-kantin sekolah pun bisa meraih keuntungan. Tapi situasi berbeda jika
harga karet anjlok, pasar-pasar tradisional sepi, penjual makanan di kantin-kantin
sekolah pun harus menurunkan jumlah produksinya dikarenakan uang jajan yang
minim bagi para siswa. Tak ayal banyak juga dari para siswa yang membawa bekal
makanan sendiri (bontot) dari rumah tuk sekedar penghematan. Bila sudah begini
biasanya kita bakal dengar banyak sekali keluhan dari masyarakat baik di
pasar-pasar tradisional, Bank-bank, dealer-dealer, sekolahan-sekolahan, obrolan
teman dengan temannya sampai ocehan di medsos seperti Facebook, Twitter de el
el nya Seperti ini : “Oy dah,,ngapolah
turun hargo karet neh,,laju dak pacak nak bayar cicilan aku”.
Jika kita mau berkontemplasi sejenak, merenungkan apa
sebenarnya yang salah, tentu kita akan teringat dengan “Seribu kunang-kunang di
Karet’an” tersebut. Bagaimana tidak, bukankah Alloh SWT yang Maha mengatur
semuanya? Dari kehidupan pribadi, sampai sosial tak lepas dari pantauan-Nya. Kawan,
tahukah kalian bahwasannya waktu yang dianggap tepat untuk menggerus batang
karet tersebut adalah waktu yang paling mujarab dalam memohon keridhoan-Nya. Tak
terbersitkah di pikiran kita untuk memanfaatkan waktu tersebut agar berinteraksi
pada yang Maha Kuasa? Alih-alih beribadah, kebanyakan masyarakat malah memilih
untuk pergi ke kebun guna menyadap batang karet.
Pertanyaannya
sederhana, apakah Alloh SWT ridha? Saat Alloh SWT memberikan kesempatan untuk kita
mendapatkan bumi beserta isinya kita memilih untuk sekadar mendapatkan getah
karet beserta tatalnya. Hal ini semakin memperuncing kenyataan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi menurunnya tingkat religiusitas di daerah OKU adalah semakin
tergerusnya iman masyarakat yang seiring juga tergerusnya batang-batang
penghasil rupiah tersebut. Tak nampak kini masjid-masjid dipenuhi para jamaah
di setiap datangnya waktu shalat. Belum lagi kebiasaan “mulung” (proses mengumpulkan getah karet) yang
sering berbenturan dengan waktu shalat Ashar dan juga proses “nimbang” (proses transaksi jual-beli antara petani karet
dengan para tengkulak) yang jadwalnya ketika Magrib tiba, bila datang Isya
letihlah yang mendera, lagi-lagi terabaikan. Sehingga bukan tak mungkin Alloh SWT kurang
meridhoi hal tersebut dengan diberikan oleh-Nya teguran-teguran seperti harga
karet yang anjlok, akhirya menyebabkan
tak hanya perekonomian yang timpang namun diperparah dengan makin tingginya
angka kriminalitas di daerah tersebut.
Mungkin dalam masalah ini kita harus belajar pada
kunang-kunang yang tak pernah bermunculan di akhir-akhir malam. Sebagai hewan nocturnal, kunang-kunang selalu indah membuka malam dan tentunya
mereka tak pernah rela jika ada oknum-oknum yang mengatasnamakan dirinya
bekerja menutup malam.
mantab...
BalasHapusHmm... Delicious
BalasHapusHmm... Delicious
BalasHapus