“Di sanalah” dalam lagu “Indonesia Raya”
TABLOID SUAKA, EDISI MARET 2016
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku…
Sebagai
bangsa yang baik, sudah barang tentu kita hafal larik di atas. Itu adalah larik
ke dua dari lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya” karya komponis Wage
Rudolf Supratman.
Jika dianalisis secara struktural, lagu ini memiliki
tiga bagian. Awal, pertengahan, dan akhir. Ke tiga bagian tersebut sukses
mengantarkan pesan yang selalu mengacu kepada judulnya, yaitu “Indonesia Raya”.
Meski begitu, tidak ada salahnya tuk
menyimak apa yang dikatakan Remy Sylado mengenai lagu ini. Dalam bukunya yaitu Perempuan Bernama Arjuna 2, penulis
novel Kembang Jepun ini, mengkritik
pedas penggunaan adverbia “di sana” dalam lagu “Indonesia Raya.” Orang
Indonesia yang ada di Papua, Medan, Solo, Yogyakarta, Bangka, Belitong,
Ternate, Wakatobi, Palembang, Antapani, dan seterusnya, menyanyikan lagu “Indonesia
Raya” dengan mengatakan “Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku”. Kenapa
harus “di sana,” kenapa tidak menggunakan diksi “di sini”, bukankah pada waktu
yang sama, sang penyanyi berada di Indonesia, tempat ibu melahirkan Pandu?
Menurut Remy, samasekali itu
bukanlah masalah dasar licentia
poetica yang biasa dijadikan perisai untuk menunjukkan kebebasan
imajinasi dan kreativitas bahasa dan seni menurut alasan kaidah-kaidah objektif
estetika, tapi sebetulnya itu memang soal kesalahkaprahan memanfaatkan bahasa
kebangsaan yang dipakai tanpa mengindahkan nalar menyangkut ukuran normatif
atas bentuk abstrak dalam wilayah jarak.
Pernyataan di atas, tentu tidak bisa
dikatakan salah. Hal itu juga dibutuhkan sebagai kritik terhadap maraknya
pengatasnamaan licentia poetica sebagai
tameng oleh komponis tak bertanggung jawab di Indonesia dewasa ini. Namun, ada
baiknya kita kembali pada sejarah, di mana pertama kali lagu “Indonesia Raya”
diperkenalkan oleh komponisnya,
Wage Rudolf Supratman, pada tanggal 28 Oktober
1928
pada saat Kongres Pemuda II di Batavia
melalui biolanya secara instrumental. Hal ini untuk menghindari pantauan
mata-mata belanda. Kemudian
pada 10 November 1928 koran Sinpo memuat secara lengkap teks dari lagu kebangsaaan
“Indonesia Raya” tersebut. Lagu ini sesungguhnya adalah
penanda lahirnya pergerakan nasionalisme
seluruh nusantara di Indonesia, yang mendukung ide “Satu Indonesia”.
Di mana keberadaannya mengokohkan semangat persatuan yang dibungkus oleh
“Tumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan
berbahasa satu, bahasa Indonesia.” (Sumpah Pemuda).
Seperti
kita mafhum, bahwa Indonesia terdiri dari bermacam suku, ras, bahasa, dan
agama. Dan, di masa sebelum dan sesudah kemerdekaan pun, isu pemecahbelahan
Indonesia lewat Devide et impera-nya
belanda, masih santer dikumandangkan oleh pihak-pihak yang tak menginginkan
adanya persatuan di negeri ini. Atas dasar itulah, penggunaan diksi “di sana”
dalam lagu “Indonesia Raya” dirasa lebih tepat, karena melambangkan adanya
sentralisasi, yang sudah barang tentu bukanlah mengacu pada wilayah tempat dan
jarak, melainkan sebuah usaha penyatuan semangat persatuan itu sendiri, yang
pada saat itu diharapkan bisa merangkul semua jenis golongan untuk melepaskan
keakuan-nya untuk mewujudkan
Indonesia Raya.
Pemaknaan
tentu akan terasa berbeda, andai saja sang komponis menggunakan adverbia “di
sini” yang itu sama saja merefleksikan
adanya semangat pecahbelah. Karena pada saat yang sama orang Papua, Medan,
Solo, Yogyakarta, Bangka, Belitong, Ternate, Wakatobi, Palembang, Antapani, dan
seterusnya, ketika menyanyikan lagu ini, merasa bahwa daerahnyalah Indonesia
itu. Dalam pada itu, Indonesia hanya berada di ruang lingkup daerahnya saja.
Belum lagi dengan kenyataan yang dialami warga Negara Indonesia yang berada di
luar negeri bila lagu tersebut menggunakan diksi “di sini”— yang berarti di
luar negerilah tanah air mereka. Ini membuktikan bahwa sebenarnya acuan
tersebut lagi-lagi bukanlah masalah jarak dan tempat.
Meskipun demikian, bukanlah berarti lagu Indonesia Raya adalah lagu yang
bersifat kontekstual. Di era pascamodern sekarang ini, kita dapati usaha
penceraiberaian Indonesia lebih gencar dilakukan. Semangat untuk menghancurkan
bangsa ini nyatanya tak pernah padam. Terlebih dengan berkembangnya teknologi
yang salah satu dampak negatifnya adalah menghapus perlahan dari hati
pemuda-pemudi Indonesia hal-hal penting yang berkenaan dengan Negara, seperti
Pancasila, UUD 1945, Sumpah Pemuda, dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya.” Maka
tak jarang kini kita dapati para pemuda yang tak hafal sila-sila dalam
Pancasila, tidak tahu kapan Sumpah Pemuda diselenggarakan, dan lebih jauh lagi,
tidak pernah khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya ketika upacara bendera—
yang berujung pada anggapan, bahwa menyanyikan lagu tersebut hanyalah formalitas
belaka.
Mari kembali pada apa yang dikatakan Remy Sylado
selanjutnya, bahwa lagu ini lebih tepat dinyanyikan di luar Indonesia (luar
negeri). Karena pada saat yang sama, orang yang menyanyikannya menatap pada negara
yang bernama Indonesia. Pada saat itulah diksi “di sana” dalam lagu tersebut dirasa
benar secara acuan logika jarak. Namun,
terlepas dari itu semua, inilah juga bukti, bahwasannya sang komponis
yaitu Wage Rudolf Supratman adalah seorang yang sangat visioner. Tentu kita
tidak bisa menutup mata, bahwa salah satunya dengan prestasilah lagu kebangsaan
kita ini bisa berkumandang di luar negeri. Hal itu juga yang menjadi bukti
bahwa sang komponis, sedari dulu sudah berpikir bahwa prestise sebuah bangsa
juga ditentukan oleh prestasi-prestasi yang diukir pemuda-pemudinya di masa
yang akan datang. (sekarang ini).
Jika ada pertanyaan, “Siapakah, atau
seperti apa definisi pahlawan sekarang ini?” Tentu, jawabannya adalah mereka
yang berprestasi. Terlebih yang bisa mengharumkan nama bangsa di mata dunia.
Kita ambil contoh betapa bangganya rakyat Indonesia akan prestasi yang diukir
oleh pebulutangkis Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang berhasil meraih emas
pada Olimpiade Barcelona tahun 1992. Juga ada kiprah bapak Prof. Dr.-Ing. H.
B.J. Habibie, yang sebagaimana kita ketahui kecerdasannya terkenal seantero
dunia di bidang teknologi pesawat
terbang. Dan, yang baru-baru ini, salah satunya adalah pretasi yang diukir oleh
pembalap muda Indonesia, Rio Haryanto yang sebelum membalap di Formula One seperti sekarang ini, pernah
memenangi ajang Formula
BMW Pacific di Turki, yang dengan kemenangannya tersebut pihak
panitia penyelenggara harus mengunduh lagu Indonesia Raya terlebih dahulu,
dikarenakan tidak pernah disangka-sangka balapan akan dimenangi oleh seorang Indonesia.
Tidak sampai di situ bendera merah-putih pun didapati berkibar setelah panitia
membalikkan bendera negara Polandia.
Tentu, kisah-kisah di atas, adalah
sedikit contoh dari banyaknya
pemuda-pemudi yang juga berprestasi di mata dunia sampai detik ini. Dan, pada
akhirnya, kita akan melupakan halihwal adverbia “di sana” ataupun “di sini”
dalam lagu “Indonesia Raya.” Baik di dalam dan luar negeri, lagu Indonesia Raya
seharusnyalah memiliki tempat di hati kita. Karena di dalamnya ada semangat
para pahlawan, ada keinginan yang kuat untuk bersatu, ada usaha yang nyata
untuk melebur perbedaan. Terlepas dari kritik yang memang perlu dipaparkan oleh
kritikus senior Remy Sylado dalam
bukunya Perempuan Bernama Arjuna 2 tampaknya
hal tersebut semakin membuka wawasan kita untuk bisa menjiwai lagu “Indonesia
Raya”, yang diharapkan bersinambung dengan pencapaian-pencapaian pemuda-pemudi Indonesia
dalam usaha mengharumkan nama bangsa, lewat prestasi-prestasinya, baik di
dalam— maupun luar negeri.
Komentar
Posting Komentar