Dul Sawan, riwayatmoe kini?




           

“Cop mak ilang, mak ilang jaga batu, di mano koceng belang di situ rumah aku”.

Kurang-lebih seperti itu, sebuah lagu khas daerah Sumatera Selatan membuka serial komedi di TVRI Palembang kala itu. Riuh renyah masyarakat dibuatnya, sedari hari sebelumnya menunggununggu. Maklumlah, hanya dua kali tayang dalam seminggu. Pasti, buat para penonton di rumah merindu-rindu. Sebenarnya apa, dan bagaimana sih acara itu? Terlebih buat sahabat yang lahir di sekitar tahun dua ribu. Tentu tidak tahu, maka dari itu wajiblah kalian tahu. Atau sekadar kita bernostalgia akan kenangan masa lalu.

            “Dul Sawan” adalah nama acara komedi ini. Ditayangkan oleh TVRI stasiun Palembang di sore hari. Format acaranya seperti teater mini. Tentu, ada tugas berbeda di sana-sini. Mulai dari penulis naskah, sutradara, pemain musik, sampai para pemain juga penonton yang duduk rapi di kursi-kursi. Karena setting di salah satu ruangan milik TVRI, maka dinding-dindingnya nampak indah terhiasi. Hasil kreativitas dari orang-orang yang berdisiplin seni. Lalu, apakah yang membuatnya punya hati hingga kini? Ayo, teruslah ikuti !

            Komedi ini terdiri dari tiga babak atur. Ada babak “satu”, “dua”, “tiga”, dan yang terakhir babak “belur”. Layaknya pertandingan tinju, seorang gadis berkeliling arena sambil menjunjung papan bertuliskan “Babak 1, 2, 3 dan Belur, menandakan permulaan dan pergantian alur. Lagu “Cup Mak Ilang” lah yang menambah suasana semakin menggiur. Kalau sudah begitu, pasti, di rumah-rumah tak ada suara yang mendengkur. Yang sedang mendengkur, sekejap maju ke depan TV dan membaur bersama dulur-dulur.

            Babak satu layaknya sampiran dalam pantun. Biasanya monolog yang menuntun. Tokoh Marialah yang biasa melantun. Wanita tomboi serbabisa ini, tak hanya membangun suasana awal, namun, selalu sukses mencuri hati para penonton di rumah maupun di studio sampai tertegun. Gaya bicaranya blak-blakan, namun tetap santun. Bahasa Palembangnya itu yang paling khas, tak kau dapati meski keliling dunia sekalipun. Sesekali para penonton menimpali perkataan Maria tanpa ampun. Namun Maria sang tokoh legendaris itu, selalu punya cara membalasnya hingga para penonton berlutut balik minta ampun. Inilah salah satu musabab kenapa acara ini  khas dan sukses tayang bertahun-tahun.

            Setelah kurang lebih lima belas menit berlalu, maka berakhirlah babak satu. Diiring lagu “Cup mak ilang” wanita pembawa babak berlenggang mengitari para penonton yang sebagian berjoget  dan ikut bernyanyi mendayu. Maklum, orang Melayu. Sebelum lagu berlalu, biasanya, beberapa pemain maju sembari mengusir para penonton yang masih berjoget, dengan celetukan khas kota BARI itu. Para penonton pun kembali ke kursi mereka satu persatu. Konflik mulailah dibangun kala itu. Tokoh Emek (Ibu) tampak nyerocos panik terhadap tokoh Ba’ (Ayah/suaminya) yang digeretnya ke tengah-tengah arena drama kala ia sedang asik main catur melulu. Emek berkhaskan rambut poni juga berkarakter panikan dan cerewet, memang paling cocok membangun konflik di tengah alur yang maju. Tokoh Ba’ yang lugu tapi pintar membual itu pun menambah suasana jadi haru. Sesekali keduanya bertanya pada penonton barangkali ada yang tahu di mana gerangan anak satu-satunya itu. Penonton pun kompak menjawab “Dak tau”. Kalau sudah begitu, akan datang tokoh lain yang maju. Biasanya, tokoh antagonis akan menyebar fitnah kepada ke dua orang tua itu. Mereka kabarkan Dul tertangkap polisi sedang pesta ganja di daerah Plaju. Tambah panik wajah Emek dan juga Ba’ kala itu. Emek membenarkan berita dari radio tentang penangkapan pengedar ganja beberapa jam lalu. Nama Dul Sawan disorot sebagai pelaku. Emek pun semakin tersedu. Akhirnya, terdengarlah lantunan gitar dan semarak lagu Cup Mak Ilang tanda babak dua telah berlalu.

            Tokoh Maria nampak sedang sibuk hilir-mudik dengan wajah cemberut. Sebagai sahabat baik Dul, ia tak percaya kalau nama sahabatnya itu disebut-sebut. Terkadang para penonton bertanya pada Maria yang nampak sekali sedang kalut. Namun, ia tak menjawab hanya saja manggut-manggut. Setelah lama akhirnya Emek dan Ba’ bertemu Maria dan bertanya tentang Dul, namun ternyata masalah semakin akut. Ba’ hanya bertambah gelisah , memegang kepala lalu turun ke perut. Tak dinyana datang dua orang lelaki berjalan santai dari balik sudut. Dialah Dul Sawan dan juga kakeknya yang berjanggut. Semua histeris mendapati Dul Sawan datang tanpa dosa dan juga rasa takut. Emek pun begitu histeris merenggut. Ditanyalah Dul bagaimana bisa ia terhasut. Ngisap ganja dan akhirnya ditangkap polisi dan diusut. Dul Sawan heran, geleng-geleng dan manggut-manggut. Ia berucap bahwa ia baru saja dari rumah kakeknya, ia membantu kakeknya membuat kandang burung perkutut. Jelaslah sudah semua perkara bahwasannya semua berasal dari berita yang tidak patut. Dan alunan lagu Cup Mak Ilang full versi menutup babak ke tiga dan babak belur pun disambut.

            Babak belur sebenarnya masih dalam babak ke tiga. Di saat semua penonton dan pemain berjoget jadi satu itulah waktunya. Semua nampak senang bahagia. Itulah sekilas potret pertunjukan komedi khas Palembang yang melegenda. Dari rentang tahun 90an menuju abad millennium yang mendera.

Dul Sawan penuh dengan hal-hal yang sederhana. Dul Sawan cerminan Palembang punya anak muda, kreatif, dan bersemangat menjaga bahasa di tengah gempuran modernisasi yang melanda.



“Anak ikan dimakan ikan, ikan di laut beduri duri
sanaklah bukan sodaro bukan, sangkot paotnyo kareno budi”


“Dul Sawan, oi Dul Sawan, di mano lah kau mak ini?”

Komentar

  1. Dulu jadi bagian dari Dul sawan tahun 2000-2001😁😁(anak teater SMAN 3 Palembang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer