PACEKLIK

Dulu saat masih kanak-kanak, aku pernah bertanya pada ayah tentang panasnya cuaca di kampungku ini. Kenapa bisa begitu. Ayahku yang lucu itu menjawab singkat “Karena di sini mataharinya pendek”. Dan setelah berbelas-belas tahun akhirnya aku paham, dikarenakan di kota kabupaten Matahari berdiri kokoh, sinarnya menyilaukan mata, panasnya menggelitik sampai ke hati orang-orang kampung seperti kami.

Jadilah orang-orang berlomba ingin menyumbu Matahari. Mulai dari yang baru brojol, koboy pasar, remaja tanggung, bujang lapuk, sampai nenek-nenek dan kakek-kakek yang hidupnya berbaur dengan babi di hutan saja, tak ingin kalah ambil bagian. “Mataharinyo beda” celetuk seorang nenek yang giginya selalu dikait-kaitkan dengan lirik lagu burung kakak tua itu semacam paham, atau sok-sokan paham.

Dan, tiba-tiba aku teringat celoteh seseorang yang berkata bahwa kampung ini tak kan menjadi kota. Batang-batang karet yang telah uzur cepat berubah menjadi bebatang karet yang produktif kembali. Seperti ubi Cilembu yang tak kan mungkin manis bila di tanam di dunia lain, seperti itu mungkin perkawinan batang-batang penghasil sandal jepit, sampai ban mobil jutaan itu dengan tanah kampung kami. Mesra sekali.

Benar saja, bahkan dengan ajaib sebuah pohon karet besar tumbuh di pertigaan jalan di dekat pasar. Yang menariknya lagi ia tidak berdaun. Di atasnya nampak sepikul getah karet yang sudah siap jual itu nampak tidak laku-laku juga sampai sekarang. Dan satu hal yang selalu menjadi misteri, siapa gerangan yang menyadap batang itu setiap hari? Kini setiap melewatinya aku sedikit paham gerangan panasnya kampungku ini yang  makin menjadi-jadi.

Beberapa tahun yang lalu harga karet membumbung tinggi. Perekonomian menanjak. Ihwal itu jugalah yang menjadikan sebuah simbol Tuhan yaitu patung pohon karet besar itu dibangun. Kala itu teman-temanku banyak yang nikah massal. Showroom motor, mobil, dibanjiri pembeli. Pedagang sayur mayur, sampai tukang parkir pasar pun mendadak banyak yang naik haji. Pun demikian sedari dahulu sampai sekarang tak ada tukang parkir yang bergelar haji itu shalat di Mushola, atau Mesjid. Mereka orang-orang yang kecipratan harga getah karet yang konon hampir 20 ribu per gilogram itu, shalatnya tetap : 'dilanggar'.

Aku ingat dulu, saat panas kampungku adalah sebenar-benarnya terik. Yang darinya bercucur peluh keringat para leluhur, orang tua, nenek dan kakek kami, sembari istirahat siang mereka menyantap nasi tiwul berlauk seadanya. Dari ujung-ujung pohon karet yang masih dini terbersit harapan, bahwa kelak keturunannya tidak perlu kesusahan seperti mereka. Kalau sudah begitu panasnya terik mentari tak terasa lagi. Sirna oleh kesamaan strata. Di kanan kiri sama gubuk berdiri. Di depan belakang sama orang berjalan, tak beralas kaki.

Dan sesekali aku membuntuti kakekku dari belakang. Semacam senang, karena jika berjalan dengannya aku bisa dengar suara garaunya menyanyikan beberapa lagu kemiliteran. Kami susuri jalan setapak pulang. Karena di rumah, nenek sudah menyiapkan kudapan. Dan hingga kini berbelas-belas tahun setelah hari itu, aku tidak pernah mendapatkan tempat ternikmat untuk makan, kecuali di rumah kakek dan nenek. Itu dulu saat matahari benar-benar di atas kepala.

Seperti mengadu, kemarin kami mendatangi pusaranya. Teringat kakek yang selalu menangis kala hari kemerdekaan tiba. Sembari mengucek matanya, ia berkata “Kita belum merdeka”. Dan kini, saat 17 Agustus sedari tahun 45 itu sudah berjumlah 70, negeri ini memang belum merdeka. Yang merdeka hanya kakek dan nenek beserta teman-temannya seperjuangan.

Dan sekarang, di saat kepulanganku disambut dengan harga getah karet yang turun drastis bak pesawat Hercules yang jatuh dari angkuhnya ketinggian, hancur lebur ditelan ganasnya realita, kampungku tetap panas. Panas karena banyak pasangan yang bercerai berai. Panas karena mobil dan motor ditarik dealer. Panas karena rumah dan tempat-tempat usaha disegel pihak bank. Panas, karena sebenar-benarnya panas mendapati seorang tukang parkir gaek, yang bergelar haji bertengkar karena pemilik kendaraan memberinya uang yang di bawah standar. Panas, karena mungkin lama-kelamaan orang kampung kembali primitif, karena pakaian tak terbeli.

Aku coba mencari jawab akan semua ini. Dua ratus meter setelah pasar aku berhenti di depan sebuah bangunan bersejarah. Gedung bioskop satu-satunya itu aku lupa kapan terakhir beroperasi, sudah jamuran dimakan usia. Tidak terawat. Dulu kami berkesempatan menonton film Bary Prima, Rhoma Irama, juga mengenal Warkop DKI tuk pertama kali di tempat itu. Semua orang tumpah ruah di sana, sesekali kami yang masih kecil ini menyelip pintar di antara antrean pembeli karcis, yang karenanya kami  pernah disuruh push up  penjaga karcis karena kedapatan tidak membeli karcis. Seperti itulah, tidak ada kami punya teve seperti sekarang ini. Yang menjadi sebab setiap ada pertunjukan layar tancap, kami tak pernah absen menyambanginya, walau harus berjalan belasan kilo meter. Pahamlah kini teman-temanku di kampus ihwal aku yang sangat cepat dalam berjalan kaki.

Lama aku tercenung. Menatap takzim gedung usang itu, lalu melihat samar patung batang karet yang jauh di seberang sana. Hingga aku sadar bahwa modernisasi dan perekonomian seperti gedung bioskop dan batang karet. Di saat perekonomian memanjakan manusia, di saat itu modernisasi disalahgunakan. Tidak seperti gedung bioskop atau nonton layar tancap yang filmnya itu-itu saja, kini generasi muda dijajah oleh banyaknya tontonan merusak moral, belum lagi perkenalan mereka dengan tokoh pengusung musik Raggae, yang karenanya banyak anak muda menjadi budak Cannabis sativa.

Para orang tua hanya sibuk menuruti lidah. Imbasnya tentu selain ladang karet yang semakin meluas adalah perhatian yang semakin menyempit. Tidak seperti para orang tua kami dahulu, dengan segala keterbatasannya mendidik dengan tegas, namun menyayangi dengan  perhatian yang melimpah. Dan kini, saat krisis melanda kampungku, tidak terhitung perkebunan karet mereka ludes terjual. Anak-anak mereka tak bisa diandalkan, sebagian jadi begal karena tetap harus berurusan dengan Narkoba.

Aku putuskan pulang. Pelan-pelan kulambaikan tanganku pada gedung bioskop tua. Begitupun kala melintasi patung pohon karet itu, aku bergumam “kalau sudah begini, jangan-jangan patung ini dirubuhkan tak lama lagi”. Dan pertanyaanku terhadap ayah, tentang kenapa ia tidak punya kebun karet sedari dahulu, terjawab sudah.

Semoga paceklik, membawa berkah. Bukankah Alloh menguji setiap kaum yang dicintainya?



Batumarta, 20 Juli 2015.

Komentar

  1. Balasan
    1. he he belajar Pak..siapo tahu jadi penulis, men yg jadi tengkulak karet kan lah banyak dari Batumarta mah. Mokasih lah baco Pak...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer