Seperti Doloe, Batumartaku..!

TRIBUN SUM-SEL, 2013




Tepatnya 27 tahun yang lalu, di tempat ini aku dilahirkan. Kala itu masih banyak macan-macan yang melintas, kijang yang berlalu-lalang, dan juga lolongan anjing hutan di malam hari. Masih jarang penghuninya, mungkin satu dua. Aku pernah bertanya pada orang-orang kenapa namanya Batumarta, konon kata mereka nama Batumarta diambil karena terletak antara Baturaja dan Martapura, karena itu, jadilah namanya Batumarta. Daerah ini daerah Transmigrasi, banyak pendatang dari pulau jawa yang mengadu nasib di sini. Ya sekitar mulai tahun 70-an akhir. Kala kakek dan nenek masih ada, aku masih ingat sekali banyak orang-orang pribumi menjajakan ikan lele, buah duku, durian atau hasil alam lainnya yang kesemua itu harganya murah, bahkan terkadang bisa di barter dengan barang-barang lain seperti pakaian dan sebagainya.

Di Batumarta dahulu aku juga sering lihat kesenian-kesenian aslinya, seperti Ningku’an. “Ningku’an” itu unik menurutku, gadis-gadis dan para bujang kampung berkumpul melingkar bermain selendang, yang apabila selendang itu berhenti di salah satu dari mereka, maka ia akan diberikan hukuman. Selain itu ada kesenian “Gitar Tunggal”. Ini tak kalah menarik, gitar tunggal biasa dimainkan oleh orang-orang tua, sebenarnya hanya permainan gitar biasa namun dilakukan beberapa modifikasi pada cara pensteamman gitar yang menghasilkan nada yang khas ala Sumatera Selatan. Gitar tunggal fungsinya mengiringi alunan sajak, terkadang pantun yang berisikan nasihat-nasihat dari para leluhur dahulu.

Bisa dibilang Batumarta secara perekonomian dahulu sangat susah, karena belum banyak kebun karet yang menghasilkan. Kebanyakan dari penduduknya masih mengandalkan hasil hasil alam yang lain. Namun semua serba bahagia, jarang ada konflik meski kita hidup secara plural di sana. Ada orang Pribumi sukunya Komering dan juga Ogan, ada para pendatang dari Bali, Bandung, Jawa, dan sebagainya. Intinya kita sangat hidup rukun. Suku Komering adalah suku di mana mereka kebanyakan tinggal di daerah aliran sungai Komering. Sungai Komering adalah anak dari sungai Musi, di daerah Komeringlah sebenarnya terdapat buah Duku kualitas terbaik di Indonesia. Kebanyakan orang salah persepsi, karena kebanyakan penjual buah duku di kota kota besar seperti Jakarta dan Bandung menuliskannya dengan “Duku Palembang”, sebenarnya duku Komeringlah yang terbaik. Begitu juga dengan suku Ogan, adalah mereka yang tinggal di salah satu anak aliran sungai Musi, yaitu sungai Ogan. Orang-orang Ogan ini ramah ramah, dan pandai berpantun terlebih juga mereka memiliki selera humor yang tinggi.

Dahulu belum banyak masjid-masjid besar seperti sekarang, namun di Surau-surau dan Langgar (Sebutan mushola di sana) bisa kita dapati penduduknya taat beribadah, mereka selalu shalat wajib berjama’ah. Bukan itu saja, di sore  harinya banyak guru-guru ngaji yang tak pernah meminta imbalan sedang mengajarkan para anak-anak kecil mengaji. Sungguh luar biasa, kehidupan dunia tak membuat mereka lupa akan tujuan akhir, yaitu hidup yang kekal di akhirat kelak.

Di Batumarta biasa di pimpin oleh seorang kepala Desa yang amanah. Mereka begitu dekat dengan rakyat, memerhatikan dan juga mencoba mencari solusi dengan baik jika ada masalah yang mendera penduduknya, tentunya dengan tidak meninggalkan adat adat dari leluhurnya, seperti musyawarah mufakat.

Itulah gambaran Batumarta tempo dulu. Rindang dan asri. Namun kini yang membuatku kangen akan kampung halamanku hanyalah nyanyian burung burung liar saja. Mereka bernyanyi menyanyikan kebebasannya. Berbeda dengan burung-burung di kota kota, yang bernyanyi menyanyikan kemalangannya hidup terkurung oleh modernisasi. Entah mengapa setelah perekonomian yang bagus melanda Batumarta dengan sangat menjanjikannya perkebunan perkebunan karet di sana terlebih lagi dengan harga karet yang kini jauh lebih baik daripada dulu, sedikit demi sedikit nilai-nilai baik, perlahan luntur bak  pakaian murah yang kita beli di pasar-pasar tradisional sesampainya di rumah kita cuci dan hilanglah warna cemerlangnya. Begitulah di Batumarta, kini tak lagi kita bisa lihat kegiatan-kegitan keseniannya, seperti “Ningku’an” ataupun “Gitar Tunggal”. Semakin banyak masjid masjid besar di sana-sini pun tak ayal hanya terdapat satu shaff saja orang yang berjamaah, itu pun hanya shalat Magrib. Bahkan sangat jarang orang-orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk belajar mengaji, semua sibuk akan urusan dunia saja.

Bila kita tinjau secara materi, masyarakat Batumarta sangatlah sukses dengan rata-rata memiliki  dua hektare kebun karet setiap kepala keluarganya. Dua hektare kebun karet ini rata rata bisa menghasilkan minimal tiga juta rupiah setiap bulannya. Sebuah nilai yang fantastis bukan? Namun seharusnya dengan banyaknya kebahagiaan yang kita dapatkan, kita bisa semakin bersyukur atas Rahmat Alloh SWT. Kalau dahulu saja dengan segala keterbatasan, kita bisa hidup berdampingan, saling mengingatkan, dan juga saling membantu, kenapa tidak kini yang kemakmuran sudah menyelimuti warganya.

Mungkin kita perlu belajar pada buah “duku komering” yang rasanya tetap manis, meski kebun-kebunnya berdampingan dengan perkebunan “karet” yang kian hari kian menjadi Tuhan. Yang menjadikan orang orang berkata “aduh hujan” ketika turun hujan dan juga “aduh kemarau” karenanya getah karet menipis, “waduh harga karet turun” atau  “akh mati lampu terus nih!” De el el nya deh.


Tulisan di awal-awal belajar menulis kreatif, di semester 4. Aneh bin ajaibnya, malah dimuat di Tribun Sumsel kala itu.

Komentar

Postingan Populer