SERANGAN FAJAR
LARAS BAHASA LAMPUNG POST, JUM'AT 3 AGUSTUS 2018
Kita patut bersenang hati bahwa setidaknya pesta demokrasi di negeri ini yang salah satunya adalah Pilkada Serentak telah diselenggarakan pada Rabu 27 Juni 2018 lalu dengan aman. Adapun hasil hitung cepat (quick count) sebagai acuan tak resmi sudah pula kita ketahui hasilnya. Sedangkan hasil resmi sudah barang tentu masih harus kita nantikan dari KPU tiap daerahnya.
Kita patut bersenang hati bahwa setidaknya pesta demokrasi di negeri ini yang salah satunya adalah Pilkada Serentak telah diselenggarakan pada Rabu 27 Juni 2018 lalu dengan aman. Adapun hasil hitung cepat (quick count) sebagai acuan tak resmi sudah pula kita ketahui hasilnya. Sedangkan hasil resmi sudah barang tentu masih harus kita nantikan dari KPU tiap daerahnya.
Dalam pada itu, sebenarnya kita juga
tengah menunggu sebuah perhelatan besar demokrasi yang lain yang tentunya akan
menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan. Karena hal itu lah, banyak
pihak menyebut tahun ini sebagai Tahun Politik, di mana Pemilihan Presiden akan
diselenggarakan pada tahun 2019 mendatang.
Menjelang Pilpres, demikian
akronim-nya, seringkali kita mendengar dan mendapati istilah-istilah baru yang
berhubungan dengan Pemilu. Selain Tahun Politik, kita juga mafhum dengan
istilah Golput atau Golongan Putih yang mana hal itu adalah bentuk penisbatan
pada mereka yang dalam keadaan sadar tidak ikut memilih karena tidak percaya
dengan sistem politik yang ada. Putih sendiri yang ditengarai sebagai simbol
dari kesucian, tampaknya bisa juga kita telaah sebagai simbol netralitas atau
kegamangan seseorang dalam menentukan pilihan yang ada.
Selain Golput, ada pula yang kita
kenal sebagai Kampanye Hitam atau Black
Campaign. Lagi-lagi, warna sebagai simbol dirasa paling tepat untuk
menjelaskan pada khalayak ihwal mereka yang diduga melakukan upaya tuk merusak
reputasi calon/partai dengan cara fitnah atau pun menuduh tanpa bukti jelas.
Adapun Black Campaign sendiri bisa
juga bermakna menjatuhkan lawan politik dengan mengangkat politik
identitas/primordialisme dan lain sebagainya.
Sedangkan istilah yang tidak menggunakan
simbol warna adalah salah satunya yaitu, Masa Tenang. Masa Tenang sendiri
bermakna waktu yang tidak diperbolehkan dilaksanakannya kampanye. Dalam masa
tenang biasanya dilakukan pula pembersihan atribut-atribut bekas kampanye. Namun
selain berhubungan erat dengan politik, istilah Masa Tenang sesungguhnya telah
mengacu pula kepada mereka para siswa yang dalam waktu tertentu tak lama lagi
akan melaksanakan ujian nasional di sekolahnya, sebagai indikasi berakhirnya
masa belajar dengan kadar yang berat.
Beberapa istilah di atas sebenarnya
lahir dengan sendirinya sebagai dampak adanya dinamisme dalam bahasa. Bahasa
yang berkembang salah satunya tidak hanya dipengaruhi oleh zaman yang terus
berubah, namun di antaranya adalah elemen-elemen penting kenegaraan seperti perpolitikan
itu sendiri. Karenanya berlahiranlah istilah-istilah baru yang terkadang sesuai
namun tak jarang juga membutuhkan telaah ulang.
Sebut saja istilah lainnya yaitu,
Serangan Fajar. Serangan Fajar, diartikan sebagai upaya mencurangi lawan
politik dengan memberikan sejumlah uang, atau juga sembako kepada masyarakat
agar kiranya mereka menjatuhkan pilihannya kepada mereka yang telah membayar.
Serangan Fajar sendiri adalah bentuk langsung dari istilah Money Politic, atau Politik Uang. Namun demikian, adakah yang menyangka,
bahwa sesungguhnya istilah Serangan Fajar telah ada jauh sebelum merebaknya
istilah tersebut dewasa ini.
Salah satu contohnya, adalah ketika
pada tahun 1982, Arifin C. Noor menyutradai sebuah film dokumenter drama perang
Indonesia yang berjudul “Serangan Fajar”. Film ini dibintangi salah satunya
oleh Amoroso Katamsi. Film ini berisi tiga bagian drama sejarah yang menentukan
nasib bangsa Indonesia setelah perang berakhir.
Dalam beberapa literatur sejarah,
sebenarnya istilah Serangan Fajar telah juga akrab dikenal sebagai aksi yang
dilakukan oleh AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang kini menjadi TNI
untuk menumpas gerakan PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) pada tahun 1958. Sedari
dini hari yaitu sekitar pukul 4:20 dimulailah pengintaian ke beberapa daerah
Permesta. Dan tepat ketika fajar menyingsing, daerah-daerah tersebut dihujani
peluru.
Dari
penggalan-penggalan sejarah itu pula lah kita bisa setidaknya mendapati kejelasan
atas asal-usul sebuah istilah yang kini kadung sudah diartikan sebagai upaya
langsung dari Money Politic tersebut.
Tampaknya, bisa pula kita sepakati, bahwa telah terjadi pergeseran makna dalam istilah
Serangan Fajar itu sendiri. Bila dahulu katakanlah bermakna positif, sekarang
menjadi negatif.
Bila
ada pertanyaan apakah itu sah? Tentu, sebagaimana bahasa yang terus berkembang,
hal itu sah. Adapun yang tidak sah, adalah ketika kita melakukan tindakan
curang dengan melakukan aksi Serangan Fajar, atau yang kita kenal sekarang
sebagai Politik Uang tersebut. Yang dengannya, sudah barang tentu banyak pihak
terzalimi juga tak ayal kita telah berperan aktif merusak tatanan berdemokrasi di
negeri yang kita cintai ini.
Komentar
Posting Komentar