Menonton Karnaval, Membaca Perjuangan Simbolis

OPINI, RADAR MOJOKERTO, MINGGU 2 SEPTEMBER 2018



Ada dua hal penting yang menjadikan karnaval senantiasa eksis di Indonesia hingga saat ini. Tak lain adalah, momen besar kenegaraan, serta adanya kepentingan ritual keagamaan. Di setiap bulan Agustus, di mana Indonesia merayakan hari kemerdekaan, tak ayal, karnaval menjadi satu perhelatan yang tak boleh ditinggalkan.  Dimulai dari tingkat pusat, hingga yang terkecil yaitu di desa-desa, karnaval selalu penuh dengan keriuhan suka cita. Sebaliknya, di daerah-daerah yang masih memiliki tradisi kesultanan, karnaval dilaksanakan sebagai penanda ataupun harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik ke depannya.
Di Indonesia sendiri, perayaan karnaval sebagai bentuk kepentingan ritual, lebih mirip dengan apa yang sejak lama dilakukan orang-orang Afrika. Mereka percaya bahwa dengan mengelilingi desa mengenakan topeng dan kostum tertentu, dapat membawa keberuntungan, mengatasai masalah, juga sebagai pengantaran arwah orang yang meninggal untuk masuk ke dunia selanjutnya.
Lantas, bagaimana dengan karnaval yang dilaksanakan pada momen-momen besar kenegaraan?  
Mari kita kembali ke sejarah, ihwal karnaval yang berasal dari carnavale- yang bermakna “menyingkirkan daging”. Carnavale, adalah kegiatan pawai yang dilakukan oleh para pengikut Katolik di Italia. Dengan melakukan sebuah festival mengenakan kostum liar, agama Katolik menganjurkan umatnya untuk tidak makan daging selama pra Paskah. Seiring berjalan waktu, kegiatan ini pun semakin meluas ke wilayah Eropa seperti, Spanyol, Prancis, juga negara-negara Katolik lainnya.
Pada abad 17, bangsa-bangsa di Eropa berlomba-lomba menaklukkan Karibia, atau yang kita kenal sebagai Hindia Barat. Kesuburan wilayah itulah yang menyebabkan terjadinya kolonialisme. Namun para kolonialis, tak memiliki cukup pekerja, yang karenanya mereka mengimpor pekerja budak dari Afrika Barat. Para budak yang berasal dari Afrika Barat inilah yang menjadi cikal-bakal terjadinya hibriditas, (pencampuran budaya pada wilayah koloni: Babha, 2004).
Carnavale, yang dibawa oleh para kolonialis, perlahan bercampur dengan budaya yang pula dibawa oleh para budak Afrika Barat. Ia meminjam tradisi Afrika dengan menyusun benda-benda alam (rumput, manik-manik, tulang, bulu, kain, kerang). Bulu-bulu sendiri dalam kepercayaan Afrika, adalah simbol untuk bisa bangkit dari segala permasalahan, tak terkecuali pada saat itu, yaitu perbudakan. Lambat laun, arakan tarian berhiaskan bulu-bulu yang diiringi musik ini, menjadi identitas baru yang kita kenal sekarang sebagai “samba”.
Tak hanya itu, Karibia sebagai segitiga perdagangan antara Afrika-Karibia-Eropa, menjadikan karnaval sebagai hasil hibriditas ini, semakin dikenal di Eropa bahkan di Amerika. Di New Orleans contohnya, yang dikenal sebagai karnaval Mardi Gras, pada tahun 1872, karnaval ini memiliki tradisi yang disebut King Cake atau kue raja. Orang-orang yang bisa mendapatkannya, konon akan mendapatkan keberuntungan hidup. Adapun para budak kulit hitam pada masa itu tidaklah diperkenankan untuk mengikuti karnaval tersebut. Akhirnya, mereka berinisiatif untuk memakai topeng, sehingga tak tampak warna kulitnya. Karenanya, kini, karnaval tersebut begitu identik dengan topeng.
Seorang kritikus sastra Rusia, yaitu, Mikhail Bakhtin membuat satu konsep ihwal karnaval yang digunakan sebagai budaya tanding (counter culture). Karnaval yang dilaksanakan di Notting Hill, London, jelas sekali bisa disebut sebagai contohnya. Di mana karnaval tersebut digunakan sebagai alat perlawanan warga minoritas asal Karibia akan represi yang mereka terima selama menetap di sana.
Di Indonesia sendiri, pasca kemerdekaan, karnaval tidaklah serta merta luntur fungsi pokoknya sebagai alat perjuangan simbolis. Tentunya ada banyak represi terhadap beberapa golongan yang mungkin saja mereka merasa sengaja dihilangkan suaranya. Adapun karnaval sendiri, adalah momentum yang baik bagi mereka, untuk menentang represi itu secara kolektif, di mana tidak ada perbedaan antara aktor dan penonton. Inilah yang membedakan karnaval dengan aksi individual biasa, atau bahkan satir yang berlangsung searah dan dalam ruang yang privat (Hirsckop, 1989).
Karenanya, disadari atau tidak, contohnya, kita sering mendapati dalam karnaval HUT kemerdekaan, para pria mengenakan pakaian layaknya perempuan. Yang bila ditafsirkan, hal itu merujuk pada kenyataan begitu banyaknya kaum transgender di Indonesia dewasa ini. Ada pula contoh lain seperti seorang pria tampan yang sedang menggandeng kedua istrinya. Selain sebuah parodi, boleh lah kita menafsirkannya sebagai gambaran atas realitas yang terjadi di kehidupan kita, di mana perempuan lagi-lagi menjadi korban dari kesalahan tafsir keagamaan atas dibolehkannya poligami.
Sebagaimana awalnya di mana karnaval terbentuk dari sebuah proses hibriditas, yang menaungi adanya sebuah usaha perjuangan, maka, di setiap zamannya, akan selalu ada gambaran-gambaran simbolik yang seharusnya bisa kita ungkap ke permukaan dari pertunjukan karnaval tersebut. Layaknya karya sastra, karnaval kini harus jadi momen bagi para penonton untuk tidak hanya cukup dalam tataran menikmati sebuah pertunjukan belaka. Lebih jauh, berperan aktif juga dalam menguak simbol-simbol yang terdapat di dalamnya.

Komentar

Postingan Populer