ROMPI ORANYE

LARAS BAHASA LAMPUNG POST, JUM'AT 12 JANUARI 2018




Beberapa waktu lalu, ketua DPR Setya Novanto akhirnya resmi dijadikan tahanan KPK dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Proses penangkapan itu berakhir tragis karena mobil yang membawanya pada tangal 16 Oktober 2017 menghantam tiang listrik di jalan Permata Berlian Jakarta Selatan. Tak pelak, masyarakat pun menyambut kejadian itu dengan beragam tanggapan. Ada yang menaruh simpati, meski demikian teramat banyak juga yang menimpalinya dengan sindiran juga cacian.
Pada tanggal 19 Oktober 2017, ia pun berhasil dipindahkan dari RSCM menuju gedung KPK setelah serangkaian tes kesehatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwasannya ia tak lagi membutuhkan rawat inap. Tak lupa, sebuah rompi berwarna oranye tampak pula ia kenakan manakala ia digiring menggunakan mobil menuju rutan KPK.
            Di Indonesia sendiri, sebenarnya kita tak lagi asing dengan istilah yang berhubungan dengan warna. Teramat banyak contohnya. Sebut saja istilah “meja hijau” yang menurut KBBI yaitu, “pengadilan”. Ada pula “buku hitam” yang menurut KBBI yaitu “buku yang berisi nama dan catatan tentang orang-orang yang dianggap kurang baik”. Istilah “darah biru” pun yang berarti keturunan bangsawan, kiranya sudah sangat akrab di telinga kita orang Indonesia sedari dulu.
            Beberapa contoh di atas bila digunakan dalam kalimat, akan menimbulkan nuansa imajinatif. Itulah yang disebut majas simbolis, yang masuk dalam kategori majas perbandingan. Majas tersebut menggunakan nama benda, binatang, juga nama warna sebagai lambang juga simbol. Sebut saja istilah “rompi oranye” yang kini makin populer seiring makin banyaknya pula para tersangka koruptor ditangkap oleh KPK.
            Akan tetapi, sebagaimana fungsinya sebagai majas simbolis, sesungguhnya istilah “rompi oranye”, adalah frasa yang telah mengalami pergeseran makna. Jauh sebelum dibentuknya KPK yang menjadi pelopor pengenalan istilah ini, “rompi oranye” secara denotatif sudah dikenal baik oleh beberapa kalangan di Indonesia. Sebut saja di jajaran kepolisian yang menginstruksikan polisi lalulintas untuk menggunakan rompi yang dikenal sebagai “rompi safety” ini.
            Tak hanya itu, “rompi safety” ini pun hingga kini masih digunakan oleh para pekerja di beberapa perusahaan seperti perusahaan tambang. Dilengkapi dengan illuminator, yaitu bahan yang dapat berpendar jika terkena cahaya, rompi ini mempermudah dalam mengenali posisi pekerja ketika berada di kegelapan. Tentu, rompi ini sangatlah berguna untuk menghindari tabrakan ketika pekerja sedang melakukan pekerjaan dengan alat-alat berat. Termasuk juga para polisi lalu lintas yang tengah bekerja di jalanan pada malam hari, yang karenanya mereka bisa dikenali oleh para pengendara karena rompi tersebut memantulkan cahaya.
            Adapun pergeseran makna dari “rompi safety” yang sesungguhnya adalah denotasi menjadi “rompi oranye” yang bermakna konotasi, bisa diambil kesimpulan bahwa itu adalah sebuah fenomena bahasa, di mana bahasa senantiasa berubah mengikuti zamannya. Mungkin juga pihak KPK mengartikan bahwa dalam proses penyematan “rompi oranye” kepada para tersangka, adalah sebuah indikasi bahwa para tersangka dalam kondisi yang aman, atau bisa jadi pula maksudnya adalah para tersangka “sudah diamankan”.
            Terlepas dari pergeseran makna yang terjadi, begitupun fungsi dari penggunaan benda tersebut, yaitu “rompi safety” atau juga “rompi oranye”, penulis pikir, bahwa para tersangka kasus korupsi memanglah pantas mengenakannya. Dalam artian “rompi oranye” tak hanya jadi simbol, lebih dari itu diberikan sebagai bentuk daripada sangsi sosial bagi mereka para pemakan uang rakyat tersebut.
            Dalam dunia sastra contohnya, sangsi sosial ini pernah dikisahkan dalam sebuah novel yang cukup dikenal luas, yang ditulis oleh Nathaniel Hawthorne dengan judul “The Scarlet Letter”. Diceritakan bahwa tokoh wanita di dalamnya yang bernama Hester Prynne, telah melakukan perzinahan yang karenanya ia dihukum oleh komunitas puritan di Boston kala itu untuk mengenakan kain dengan huruf “A” besar di dadanya dengan warna merah menyala. Huruf “A” tersebut adalah lambang dari “Adultery” yang berarti pezinah, yang karenanya setiap orang yang berjumpa dengan Hester akan mengetahui bahwa betapa menjijikkannya ia karena dosa-dosanya itu. Seperti itulah sangsi sosial digambarkan dalam sebuah karya sastra. Kini, di Indonesia, disadari atau tidak, sebenarnya sangsi sosial tengah dibangun dengan maksud tak jauh berbeda sebagaimana yang dikisahkan oleh novel “The Scarlet Letter” tersebut.
Namun lagi-lagi, bahwa sejauh apa pun pergeseran makna dalam bahasa itu terjadi, tidaklah serta merta kita melupakan makna dasar dari sebuah istilah, dalam hal ini “rompi oranye” yang berasal dari “rompi safety” yang hingga kini pun ternyata masih digunakan dengan fungsi yang berbeda. Karenanya, tidaklah otomatis orang yang menggunakan “rompi oranye” adalah ia yang tersandung kasus korupsi. Bisa saja Polantas, pekerja tambang, dan tentu masih banyak juga yang lainnya.

Komentar

Postingan Populer