MINAT BACA DAN SASTRA POPULER



PADANG EKSPRES, 7 MEI 2017

Pada Maret 2016 lalu, The World’s Most Literate Nations (WMLN), merilis pemeringkatan literasi internasional yang menempatkan Indonesia pada urutan ke 60 dari total 61 negara yang diikutsertakan. Studi yang dikomandoi John W. Miller, (President of Central Connecticut State University in New Britain) sebagai upaya mengukur negara dengan minat berliterasinya ini, menjadikan Indonesia berada satu kursi lebih baik dari Bostwana, dan berada satu tingkat di bawah negara tetangga yaitu Thailand. Namun demikian, Indonesia  jauh tertinggal dari beberapa negara tetangga lainnya di Asia, seperti Malaysia yang berada pada urutan ke 53, dan Singapura yang jauh melesat di urutan ke 36.
Selain itu, pada tahun 2012 UNESCO melansir indeks tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001. Itu artinya, dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius.
Sebenarnya, minimnya minat baca di Indonesia adalah masalah klasik (bermula dari awal fase kemerdekaan). Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti, determinisme genetik (warisan budaya dari orang tua), dan determinisme lingkungan (lingkungan yang tidak gemar membaca).
Menyinambungkan hal tersebut, kita bisa cermati apa yang terjadi di negara-negara maju ihwal pentingnya minat baca. Di negara-negara maju, pemerintah sebagai pelaksana negara, hanya melanjutkan apa yang sudah menjadi tradisi, bahwa membaca sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Bahkan, kebutuhan tersebut disejajarkan dengan kebutuhan mereka ber-sandang dan ber-papan.
Finlandia, yang menempati posisi tertinggi dalam studi WMLN di atas, adalah salah satu negara nordic yang sangat mendukung pendidikan anak sejak dini. Keluarga jadi gerbang pendidikan awal untuk anak, terutama dalam tahap belajar usia dini. Oleh karena itu, setiap keluarga yang baru memiliki bayi berhak mendapatkan bingkisan paket perkembangan anak. Isinya berupa keperluan bayi seperti pakaian bayi, mainan, tak lupa buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri.
                Selain itu, keseriusan negara Finlandia dalam upaya menjaga minat baca masyarakatnya, adalah dengan menyediakan banyak perpustakaan. Sehingga, tak ada lagi alasan untuk tidak membaca, karena hampir di setiap tempat-tempat umum di sana menyediakan perpustakaan.  Pada lain hal, di Finlandia, dongeng sebelum tidur pun masih digunakan orang-orang sebagai cara pembelajaran pada anak-anaknya. Dongeng folk dan mitologi setempat, diceritakan guna membentuk karakter anak, misalnya memperkenalkan hal-hal yang baik dan buruk, menghormati orang tua, juga menghargai sesama.
                Di Indonesia sendiri, sebelum menjamurnya bisnis percetakan, dahulu orang-orang menjadikan sastra lisan sebagai salah satu alat untuk meng-edukasi. Selain menjaganya agar tidak punah, sastra lisan yang disampaikan turun-temurun itu, dahulu memiliki fungsi yang sama seperti yang dilakukan para orang tua di Finlandia kini, yaitu untuk membentuk karakter anak. Meski demikian, sangat jarang kita dapati kini para orang tua di Indonesia mau mendongengkan anaknya sebelum tidur. Kesibukan para orang tua berdampak pada terbengkalainya kedekatan hubungan antara orang tua dan anak.
                Dalam pada itu, guna meminimalisir kemiskinan minat baca di Indonesia, sebenarnya peran sastra populer tak kalah penting untuk bisa menggantikan posisi-posisi yang hilang tersebut. Sastra populer yang lahir sebagai dampak dari hadirnya budaya populer, hendaknya tidak sekadar diperdebatkan dalam tataran kualitas. Lebih jauh, sastra populer sebenarnya dapat menjadi rawayan antara membaca karya sastra yang biasa, menuju ke karya sastra yang tinggi, untuk akhirnya membawa dampak pada kecenderungan seseorang membaca jenis-jenis buku lain di luar sastra. Hal itu dikarenakan, unsur dalam karya sastra populer lebih mementingkan fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang serta menghibur pembaca karena cara penyampaiannya yang sederhana juga mudah dipahami.
                Cerita-cerita fiksi karya penulis Tere Liye contohnya, sangat bisa dijadikan rujukan awal. Selain ringan untuk dibaca, novel-novel Tere Liye sarat akan nilai-nilai pendidikan. Ada juga genre detektif seperti Sherlock Holmes atau karya-karya Agatha Christie yang merangsang pembaca untuk mau menginvestigasi sebuah kasus.

Di saat seseorang membaca buku dan ia merasa senang, bukan tidak mungkin esok ia akan mencari buku yang lain untuk kembali membaca, dan begitupun seterusnya. Mari kita cermati, bila setiap anak di tingkat SD/SMP di Indonesia ini gemar membaca, yang hal itu berangkat dari kegemaran mereka membaca karya sastra populer, sudah barang tentu, tidak sedikit pula minat baca di Indonesia ini akan meningkat. Kelak, seiring berjalannya waktu, sebuah kecenderungan alamiah bagi seorang yang gemar membaca adalah menaikkan level bacaannya. Maka, tak ada alasan lagi untuk kita memperdebatkan hal ihwal sastra berkelas, pun sastra picisan. Karena butuh analisis yang jeli untuk membedakan perihal keduanya. Artinya, tidak semua karya sastra populer bisa dikatakan picisan. Toh keduanya pun sama-sama karya sastra, di mana sastra sendiri memiliki fungsi yaitu mendobrak segala keterbatasan. Tak terkecuali di dalamnya yaitu masalah minimnya minat baca yang masih jadi masalah serius di Indonesia sampai detik ini.


              

Komentar

Postingan Populer