Membentuk Karakter Anak Lewat Puisi

 

Oleh : Anggi Nugraha

 

            Seorang bijak pernah berkata bahwa, “Tidaklah seseorang terpeleset lalu jatuh disebabkan oleh sebuah batu yang besar, akan tetapi karena debu atau butiran pasir nun kecil.” Kalimat tersebut tentu bisa jadi pengingat untuk kita agar selalu awas dan tidak mudah teperdaya oleh hal-hal kecil yang bisa menjerumuskan kita ke dalam situasi yang buruk. Hal-hal kecil tersebut bisa jadi tidak lagi terlihat, tidak pula didengar telinga apalagi dirasa oleh hati kita. Demikianlah, kesibukan ditengarai jadi faktor yang menyebabkan melemahnya fungsi dari indra yang Tuhan telah berikan kepada kita.

Kita mestinya mafhum, sebagai generasi penerus bangsa, anak-anak tidaklah bisa dibiarkan begitu saja menjadi korban dalam masalah serius ini. Namun demikian, suka tidak suka, faktanya dampak negatif dari kecanggihan teknologi, contohnya saja maraknya permainan yang dapat diakses dengan mudah menggunakan gawai, telah menyedot sebagian besar waktu mereka. Para orang tua pun tak sedikit yang terlena dengan kesibukan mereka sehingga mengakibatkan berkurangnya pula peran dalam mengontrol perkembangan kepribadian anak-anak. Karenanya, tidak sedikit dari anak-anak yang kini menjadi tak bergairah dalam menjalani hari-harinya. Mereka malas belajar, berpikir, apalagi merespon hal-hal penting yang terjadi di sekitar. Itu tak lain, disebabkan oleh fungsi indra yang menjadi lemah akibat terlalu lamanya nge-games.

Meski demikian, tidak sedikit pula dari para orang tua yang masih menyempatkan waktu untuk membimbing anak-anaknya dengan baik. Memberikan pembatasan terhadap penggunaan gawai, juga memberi pendidikan agama sedari dini. Namun dari kedua langkah tersebut, sastra dalam hal ini puisi, sebenarnya bisa menjadi instrumen pelengkap dalam mengasah sensitifitas atau kepekaan indra yang dimiliki oleh anak-anak.

Sastrawan Indonesia yaitu W.S. Rendra, pernah mengajak para muridnya ke taman bunga ketika hendak mengajarkan bagaimana cara menulis puisi. Para muridnya itu diperintahkan untuk menciumi bunga-bunga yang ada di taman tersebut. Mereka haruslah bisa mengenali seperti apa wangi setiap bunga. Mereka dituntut untuk bisa membedakan harum bunga yang satu dengan yang lain. Setelah kesemua muridnya itu mengenali wangi, mereka diberitugas untuk menuliskannya menjadi puisi.

Lain Rendra lain pula Hikmat Gumelar. Penyair asal Bandung ini sekali waktu pernah mengajarkan para muridnya menulis puisi dengan cara mengasah indra pendengaran. Mereka, para muridnya itu diperintah untuk mencari tempat-tempat yang mereka anggap tepat, lalu mendengarkan apa yang bisa mereka dengar dengan saksama. Penulis, yang kala itu menjadi satu daripada muridnya, mendapati orang-orang bergegas mencari tempat nyamannya sendiri. Ada yang tampak asyik mendengarkan bagaimana suara interaksi seorang pedagang dan pembeli. Ada pula yang mendengarkan bagaimana suara kendaraan berhilir mudik. Ada juga yang tampak sendiri, mungkin saja ia sedang ingin mendengarkan kata hatinya sendiri. Setelah waktu yang diberikan usai, kami semua diberi tugas untuk menuliskan apa saja yang kami dengar itu di kertas dalam bentuk puisi.

Kedua contoh di atas adalah fakta bahwa dalam menulis puisi, seseorang haruslah menggunakan indra-nya dengan baik. Proses ini disebut observasi. Semakin sering seseorang melakukan pengamatan, semakin terasah indra-nya dalam menangkap realita yang ada. Demikianlah, mata yang dipaksa melihat lebih dalam dari biasanya itu akan membentuk kecergasan dalam merespon hal yang terjadi di sekitar. Telinga yang mendengar lebih saksama, akan menjadi lebih bijaksana ketika merespon seseorang yang tengah bicara kepadanya. Demikian pula penciuman menjadi lebih tajam dari sebelumnya. Kesemua itu akan berujung pada terbentuknya karakter seseorang menjadi lebih baik.

Bila sedari dini seseorang dibiasakan untuk banyak melakukan pengamatan, semoga saja bangsa ini akan menjadi bangsa yang kritis. Tidak mudah terprovokasi. Tak gampang termakan hoaks. Tak pula suka menyalah-nyalahkan. Pada akhirnya sastra tidak hanya sekadar sesuatu yang menyenangkan akan tetapi sesuatu yang bermanfaat. Sebagaimana hal tersebut bila ditinjau dari studi psikologi sastra. Yaitu, akan ada dampak kejiwaan yang baik ketika seseorang belajar menulis puisi yang hal itu bersumber dari rangkaian proses pengamatan.

Di Indonesia, apabila puisi dikenalkan sedari dini kepada anak-anak, bukan tidak mungkin nantinya, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang tak hanya kreatif namun juga bertanggung jawab. Contohnya, manakala seorang anak menulis puisi tentang kerusakan lingkungan sebagai hasil dari pengamatannya itu, sudah barang tentu ia tak akan membiarkan dirinya membuang sampah sembarangan. Atau, bila didapatinya sampah ketika ia sedang melintasi sebuah jalan, dengan sendirinya ia akan memungut sampah tersebut dan membuangnya di tempat yang benar. Hal-hal tersebut hanya sedikit dari banyaknya contoh yang bisa kita dapati apabila puisi benar-benar diajarkan secara serius kepada anak-anak kita sedari dini.

Sebagaimana disebut di bagian awal, bahwa hal-hal kecil bisa menjerumuskan seseorang pada keburukan yang besar, maka, mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Gustave Flaubert sastrawan Prancis abad 18  dalam novel-nya  Madame Bovary, bahwa, “Kadangkala hal-hal kecil punya arti lebih dari sesuatu.” Hal-hal kecil tersebut, bila saja salah satunya adalah debu juga pasir yang bisa membuat orang terpeleset dan terjatuh, setidaknya hal itu bisa diantisipasi dengan kemampuan seseorang melihat, mendengar, juga merasa sebagai hasil dari latihan meneliti lebih dalam lewat belajar menulis puisi sedari dini.

 

BIODATA PENULIS:

Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2 Kab. OKU, Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di : Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Tribun Sum-Sel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, Radar Mojokerto, Koran Berita Pagi, Radar Cirebon,  Majalah SUAKA, dll.

 

Komentar

Postingan Populer