SENJAKALA DI BATURAJA
Oleh: Anggi Nugraha
Pemuda
itu masih saja membujur, tatkala suara knalpot motor, mobil, juga bus-bus yang
melintas semakin jelas terdengar. Hanyalah getar sebuah ponsel
yang akhirnya mampu membangunkannya. Menerjang dadanya dua kali. Seraya
mengucek matanya yang pekat, ia pun membaca sebuah pesan yang masuk ke ponsel buluknya itu. (0812xxx,”Jam
10 jemput aku, di Terminal Pasar Baru! by, Nisa”).
Lekas
pemuda itu bergegas. Setelah mandi, ia mengobrak-abrik sebuah gunungan pakaian,
mencari yang layak untuk akhirnya ia kenakan, dan akhirnya lenyap membelah
jalanan.
Di Terminal Pasar Baru Baturaja, keriuhan pun
tampak menguar. ”Pelembang, Prabu,
Belitang, Martopuro, Raja Basa, Tanjung Karang!” teriak para calo, sibuk
cari penumpang. Seorang
ibu paruh baya dengan wadah aluminium di lengan kanannya menenteng mpek-mpek
yang berupa-rupa. Ketiga jari kirinya menggamit jeriken kecil berisi cuko
mpek-mpek yang tampak terguncang terbawa laju tubuhnya. Sementara
itu, bus-bus berhilir mudik seperti harapan datang menghilang.
Satu jam pun
berlalu, sebelum akhirnya sebuah bus mini dari arah Palembang memasuki
terminal. Seorang perempuan
cantik dengan kerudung hijau toska tampak turun dari bus tak lama setelah
berdesak-desakan dengan penumpang yang lain. Dari tempatnya menunggu, Ucok
semringah. Lamat-lamat ia berlindung di balik punggung orang-orang yang
berlalulalang untuk akhirnya menyekap mata perempuan itu dari belakang, tepat sebelum
perempuan itu menekan tombol call pada
nomor ponsel Ucok yang diberi nama ”Ayu”.
Tak pelak, dalam sekejap dunia pun seperti
berhenti berputar. Ketika keduanya bersitatap, matahari jadi tak seganas
biasanya. Ucok mendapati keteduhan itu masih seperti dulu. Masih terpancar dari
wajahnya yang ayu. Sementara di atas, burung-burung gereja tertawa genit,
hinggap dari gedung satu ke gedung yang lain.
”Ada yang beda sama kamu sekarang!” ucap
pemuda itu, seraya menatap lekat pada wajah perempuan di hadapannya.
”Apa?”
”Makin cantik!”
Perempuan itu pun tersenyum tersipu. Kendati
senyuman tak merubah keadaan, setidaknya, ia paham bahwa senyuman bisa
menghangatkan. Termasuk di hari itu, di hari yang langka setelah dua tahun
keduanya tak pernah saling jumpa.
”Hari ini aku ingin kita habiskan berdua,
jangan ada sedih, ya!”
”Ke mana?”
”Aku begitu merindukan Gunung Pasir. Maukah
kau menemaniku ke sana?”
”Tentu.”
”Setelahnya, bawalah aku menutup senja di
Jembatan Merah.”
”Baiklah!”
Mereka
pun bergegas ke Gunung Pasir. Sebuah bukit di pinggiran kota Baturaja yang
untuk menuju ke sana kita harus melewati sebuah Universitas di kota itu. Sedari
dulu bukit itu memang jadi tempat favorit bagi sepasang kekasih menghabiskan
waktu. Termasuk di hari itu. Di saat Nisa dan Ucok menanjaki terjalnya medan
dengan berjalan kaki, tak sedikit mereka jumpai muda-mudi sedang asyik bercanda-tawa.
Di bawahnya, sebuah danau kecil yang terbentuk karena tanahnya dikeruk, memantulkan
sinar mentari lewat airnya yang jernih.
”Wah… tempat ini memang lebih indah dari Edensor,”
ucap Nisa membuka pembicaraan, seraya menghirup sejuknya udara di bukit itu yang
hampir saja ia lupa seperti apa rasanya.
”Hei, coba kau lihat sepasang burung itu!”
ujar Ucok.
”Yang mana?”
”Itu, di dahan pohon cekru itu!”
”Oh, iya aku lihat.”
”Terkadang aku iri pada burung-burung. Bagi mereka
bahagia itu sederhana, ya?”
Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada
wajah si pemuda. Sesekali napas panjangnya terdengar lembut. Masih dengan
senyumnya yang sejuk, kembali ia coba berucap.
”Berjanjilah padaku, tak ada sedih-sedihan di hari ini!”
Perlahan, ia raih tangan lelakinya itu. Dan kembali ia pun tersenyum.
Di atas bukit itu mereka bergelak tawa.
Mengingat kekonyolan yang dahulu mereka dapati. Tapi tak jarang, suasana
mendadak hening. Sang bayu melintas, mengalunkan elegi dari masa lalu. Sesekali
kerikil-kerikil kecil mereka lemparkan ke arah danau. Seperti ingin menegaskan,
bahwa yang hilang seharusnya tak kembali. Layaknya kerikil yang menghilang
ditelan air danau itu. Benar-benar tak lagi kembali.
Dan waktu pun berlalu teramat cepat. Di lain
hal, tak ada pula yang lebih singkat dari sebuah pertemuan yang telah lama
diimpikan sepasang kekasih. Namun lagi-lagi, pertemuan pun punya keinginannya
sendiri. Ia layaknya kusir sado yang membawa para penumpang dari tempat yang
satu ke tempat yang lain untuk akhirnya saling meninggalkan. Dan kini, tempat
terakhir itu pun telah menunggu. Segera mereka ke sana. Ke Jembatan Merah
Baturaja.
Di sore itu, manakala matahari mulai kembali
ke peraduan, segerombolan anak kecil tampak terjun bebas dari atas jembatan. Di
bagian agak tengah, ikan kapras, palau,
keting, baung, terjerat di
jaring-jaring yang telah dipancang para lelaki di pagiharinya. Sedangkan para ibu-ibu
khusyuk masyuk mencuci pakaian pada batu-batu besar di bagian sungai yang tak
begitu dalam. Sore hari, memang waktu di mana orang-orang itu tumpah ruah di Sungai
Ogan. Sungai yang membelah kota Baturaja, sebagaimana Musi sang ibunda membelah
kota Palembang.
Namun, dari sekian banyak pemandangan di
Jembatan Merah Baturaja, adalah satu yang begitu sangat berkesan. Kita bisa
dapati di pinggir-pinggir sungai di seberang sana, orang-orang memamerkan
bokongnya. Mereka yang sedang buang hajat, menutup kepala juga wajahnya
menggunakan handuk. Dari atas
jembatan, orang-orang yang berlalulalang sungguh tergelitik hatinya.
”Yang malu kan muka, bukannya bokong?” Kalimat itu yang selalu dirindukan Nisa akan
Ucok tatkala berada di Jembatan Merah Baturaja. Dan, sore itu, seolah paham, Ucok
pun serta merta mengucapkannya
”Yang malu kan muka, bukannya bokong?”
”Aih… kau tak pernah lupa ternyata, ya!”
”Aku tak lupa, dan tak akan pernah lupa, meski sungguh
aku ingin bisa melupakannya.”
Kedua tangan itu pun masih saling menggenggam,
kala akhirnya azan magrib berkumandang. Orang-orang yang mandi di sungai,
bergegas pulang. Sedangkan dua insan itu, bergetar hatinya kini. Mereka saling menatap.
Hingga pada akhirnya Nisa pun berucap.
”Sudah waktunya!”
”Tidakkah berubah pikiranmu?”
”Maaf, aku harus pulang. Antarkan aku sekarang
ke terminal!”
”Baiklah.”
Sebelum bergegas, Nisa menyeka rambut Ucok. Ia
belai wajah kekasihnya itu. Udara yang dingin, dan suasana yang semakin gelap,
tak kuasa membuat tatapan kedua insan itu meredup.
Ada perasaan menyesal di masing-masing hatinya
kini. Menyesal mengapa Tuhan mempertemukan mereka. Namun benarlah, bila
keinginan memang tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan.
Begitulah yang tersirat dari dialog tatap mata
dua insan petang itu, hingga perlahan mereka pun melangkah, menjauh dari
Jembatan Merah Baturaja. Yang tertinggal hanya kisah cintanya saja, yang entah
hanyut dibawa arus sungai, atau buyar ditelan malam.
Mereka pun segera menuju Terminal Pasar Baru. Di malam hari, tempat itu masih
ramai. Orang-orang datang silih berganti. Dari kebanyakan itu, Nisa menjadi
satu daripadanya yang akan pergi meninggalkan Baturaja. Meninggalkan impian
yang tak ia dapati buminya di sana.
Akhirnya Nisa pun masuk ke dalam bus, di mana
sebelumnya, dengan penuh cinta ia telah membisikkan sesuatu kepada Ucok.
”Aku bangga pernah
mencintaimu.”
Ucok pun hanya mematung. Perlahan bus
pun bergerak meninggalkan terminal.
Semakin lama semakin hilang, dan akhirnya benar-benar hilang. Lalu, Ucok
pun melambaikan tangannya. Entah untuk siapa itu.
Syahdan, malam itu Ucok pulang ke rumahnya di
Batumarta. Ia mafhum, jika ia tidur di loket, maka habislah riwayatnya.
Sesampainya di rumah, ia langsung rehat. Sebelumnya tampak ia meneguk dua butir CTM. Tablet berwarna kuning itu topcer menghantarkan ia pada tidur yang
nyenyak. Melupakan hari itu, hari Sabtu, 21 November 2009.
***
Keesokan, Ucok membuka pagi dengan secangkir kopi. Sudah lama ia tak minum
kopi di rumahnya sendiri. Ia hampir lupa bau tanah rumahnya itu. Selama ini
obsesinya untuk menjadi seorang yang sukses, merentangkan jarak pada
keluarganya. Benar bila kini ia lebih banyak menghabiskan hari di tempat
kerjanya. Di sebuah loket bus antar kota antar provinsi. Di loket itu ia
gantungkan cita juga cinta.
Ucok pun tetap pada nyamannya di pagi itu. Sembari
duduk di kursi, ia memutar lagu-lagu kerohanian. Hari itu hari Minggu, di mana
ia libur bekerja. Meski begitu nyata-nyata bahwa ia sudah lama tak pergi ke
gereja untuk kebaktian.
Lalu, seraya terbesit di hatinya untuk pergi
ke gereja, ia pun menyelonjorkan kedua kakinya pada sebuah meja. Meja yang di
bawahnya tampak gontai sebuah tumpukan kertas. Sama seperti pikirannya yang
menumpuk, yang tak sengaja salah satu kakinya itu menjatuhkan beberapa kertas
tersebut. Maka merunduklah Ucok hendak menyusunnya ulang. Satu per satu ia raih
kertas-kertas itu dan menatanya kembali. Hingga akhirnya, sampailah ia pada
kertas yang terakhir. Kertas berplastik juga bermotif bunga-bunga itu ia buka
dengan cepat. Wangi yang semerbak membuat rasa ingin tahunya begitu memuncak. Hingga
keisengannya di pagi itu membelalakkan matanya, kala ia dapati tulisan:
MENIKAH
Annisa Nabilah Luthfiah, S.Hum.
Dengan
dr. Arif Rahman Hakim.
Dilaksanakan
pada : Rabu, 25 November 2009
Tempat
:
Kertapati-Palembang.
Sekejap, pandangan Ucok pun menjadi gelap.
Komentar
Posting Komentar